The Lost Relationship

Ada banyak orang-orang berharga yang pernah menghabiskan waktu dan membuat kenangan bersama kita. Ada yang menyebutnya sahabat, teman dekat, dan ada pula yang menyebutnya bagian dari keluarga. Lalu akhirnya, tiap-tiap mereka yang dulu 'dekat', sekarang menjadi tidak terlalu dekat, sekedar ingat pada momentum tertentu, bahkan ada yang tak lagi bertukar kabar hingga lupa dengan orang itu. Mungkin kita pernah menjadi salah satu di antaranya, atau justru keduanya sebagai subjek sekaligus objek. Terlebih lagi saat jarak mulai bermunculan hingga perlahan semakin jauh. Sebagian dari kita tentu pernah merasakan emosi yang muncul saat itu. Ada perasaan sedih dan sakit karena merasa ditinggalkan serta  dilupakan.

Lalu siapa yang bersalah? Sebenarnya tak ada yang salah, kalaupun ada, maka keduanya bersalah.
Dalam hal ini, siapa yang seharusnya mempertahankan hubungan itu? Jelas saja keduanya perlu sama-sama berusaha

Kalau salah satu merasa:
"Kok aku terus yang menghubungi?"
"Aku banyak kerjaan, harusnya dia mengerti sedikitlah"
"Malas chat duluan, biar aja dia nyariin sesekali"
"Aku lagi sibuk, nanti ajalah nanyain kabarnya"

Jika dua belah pihak berpikiran sama, maka akhirnya sekedar sapaan 'Hi' pun tak akan muncul. Menunggu nanti, yang makin lama membuat jarak semakin besar. Hal-hal seperti itu membuat luka. Luka yang terjadi karena manusia membentuk prasangka negatif dan ekspektasi yang tak mampu terpenuhi. Pada akhirnya, timbul pengalaman buruk dan rasa tidak suka yang entah apa sebabnya sehingga hubungan itu menjadi sangat jauh.

"Dia yang gak pernah kasi kabar"
"Dia yang gak pernah menghubungi"
"Dia yang mulai sombong"
"Dia yang memiliki teman baru"

Kadang sumber sakit ini dan itu, asalnya cuma dari pikiran yang tak mampu dikontrol. Lagi pula, menjaga kualitas hubungan dengan semua orang itu tak semudah minum aqua di saat gagal fokus, dengan satu orang aja susah, apalagi lebih banyak orang. Kenapa kadang kita (khususnya aku) sering kali melimpahkan kesalahan ke orang lain? Pokoknya dia yang menjauh, dia yang salah, dia yang blablabla. Untuk menyelamatkan ego kita sendiri? Mungkin. Kita itu sepertinya kurang intropeksi, budaya berpikir positif kita masih kurang. Senang pake jalan pintas, pokoknya dia salah, udah, titik. Ini perkara mengelola pikiran loh sebenarnya. Bagaimana kita berhusnudzon kepada orang lain. Belajar tentang berdamai dengan keadaan, belajar menerima keadaan yang terjadi pada sebuah hubungan. Tak semua hal juga bisa berjalan dengan aturan-aturan kita.

Seringnya, aku justru bingung, apa mungkin orang-orang yang merasa kecewa itu adalah orang yang terlalu sosialis dan terlalu peduli dengan orang lain? Apa mungkin mereka takut untuk hidup sendiri karena tak percaya dengan dirinya sendiri? Apa mungkin mereka terlalu peduli dengan orang lain karena ingin banyak orang yang juga peduli saat mereka membutuhkan?
Rasa peduli, kekhawatiran, ingin tahu tentang hidup orang lain, yang berlebihan itu sepertinya perlu sedikit dikurangi. Bagaimana dengan diri sendiri? Apa kita udah cukup peduli dengan diri sendiri? Tentang perasaan kita, kesejahteraan, kebahagiaan yang lebih penting untuk dirasakan dari pada sekedar berkutat dengan spekulasi yang tak pasti.
Kedengarannya memang sedikit egois dan individualis, tapi pada akhirnya nanti kita juga akan menghadapi semuanya sendiri. Aku nulis begini bukan berarti aku udah paling bener, tapi justru tulisan ini untuk ngingatin diri aku sendiri.  Diri ini yang sebenarnya perlu ditempa, dilatih, agar lebih tangguh di kemudian hari. Mengkhawatirkan berbagai hal mungkin membuat kita terlihat peduli, tetapi sebenarnya diri kita takut untuk menghadapi kenyataan buruk yang mungkin terjadi. Toh, tanpa diajar pun manusia memiliki naluri penyesuaian diri yang baik. Biarkan orang lain menjalani hidupnya seperti yang mereka inginkan. Kenapa begitu khawatir dengan hidup mereka? Ujung-ujungnya kita menjadi ikut campur terlalu banyak.

Kita itu (bahkan aku sendiripun) sering kali melakukan banyak hal tidak sesuai porsinya, kadang kekurangan, kadang juga kelebihan. Memang, untuk menjadi ideal (kok kesannya jadi sesuatu yang sempurna gitu ya?), maksudnya bertindak sesuai porsi itu tak mudah. Kapan waktunya kita peduli dengan orang lain, kapan waktunya kita menahan diri untuk tidak ikut campur urusan orang, kapan kita mengalah untuk orang lain, kapan pula kita perlu sedikit egois dengan kebutuhan sendiri. Bahkan batas antara tidak terlalu ikut campur dengan abai terhadap lingkungan sekitar masih sering kita bingungkan. Nah, kadang kita bingung sendiri kan jadinya? Tapi, yang paling tau gimana-gimananya diri kita, ya kita sendiri. Sejauh pikiran yang kita miliki tak menyakiti perasaan sendiri, it's okay. 

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Tokyo in Love

Instagram Ads: Reach More Your Specific Audience