Bukan Drama Korea!

Beberapa waktu lalu ada yang pernah bilang "Juny mah gak suka drama Korea, jadi waktunya gak abis buat nonton" dan ada juga yang nanya "Kamu gak suka drakor? Kok kayaknya gak pernah kelihatan nonton drama?" Apa keseharianku semembosankan dan semonoton itu ya sampai ada yang bilang begitu? Kalau boleh jujur, aku itu suka banget banget nonton (salah satu hobi yang gak ribet), terutama drama Korea, bahkan efek "drama sick" -nya aja bisa berhari-hari. Nonton drama bisa buat aku tahan begadang sampai pagi atau melupakan sarapan dan telat makan siang, bahkan aku bisa meng-cancel janji cuma buat ngabisin episode berikutnya yang buat penasaran abis. Masa iya sih? Iya, dulu aku pernah begitu. Makin kesini, aku mulai jarang banget nonton drama (kalau film sih sesekali di saat free), mungkin efek skripsi kali ya? Menurut aku, drama Korea itu racun banget, dosisnya tinggi, kalau gak pintar-pintar ngontrol diri, sudahlah, 'lewat'. Aku tipe yang susah mengontrol diri kalau berhubungan dengan ini, jadi lebih baik aku menghindarinya dari awal. Ada yang merasa begini juga?

Disini aku bukan mau ngebahas perihal drama korea ataupun tips dan trik untuk menahan diri dari nonton drakor, tapi tulisan ini tentang membuat dan memutuskan sebuah pilihan. Heran ya? Sama, aku juga. Kenapa openingnya pake drama Korea segala? Aku juga gak tau. Ya sudahlah, udah ditulis juga. Btw, yang aku tulis disini berdasarkan perspektif dan pengalaman sendiri, tiap-tiap kita sangat mungkin memiliki penilaian dan pengalaman yang berbeda.

Kalau berbicara tentang memilih, kita pasti punya beberapa pilihan yang bisa dipilih, sebelum akhirnya memutuskan A, B, C, atau lainnya. Pertanyaannya: Bagaimana cara kamu membuat pilihan? Apa pertimbangan yang kamu gunakan untuk memilih? Apa tujuan kamu dari suatu pilihan yang dibuat?

Secara pribadi, sering kali aku membuat pilihan dengan cara menghindari hal-hal yang lebih menyenangkan. Contohnya dari kasus drakor di atas, aku sebisa mungkin tidak akan memilih nonton kalau pilihan yang ada antara nonton dengan bersihin rumah. Kenapa begini? Ya tau sendiri kan gimana racunnya si-drakor itu buat aku? Nanti yang ada, aku malah berhari-hari begadang dan gak keluar rumah cuma karena nonton drama. Hell, apa yang aku dapat dari situ? Menghayalkan oppa-oppa dalam drama itu datang ke rumah nganterin nasi padang? Perfect!

Ketika disuruh milih antara baca novel dengan nulis artikel, aku milih untuk nulis artikel. Bukannya baca novel lebih gampang? Kita gak perlu mikir keras, cuma tinggal baca dan nikmati. Kalau dipikir, emang nyaman sih, tapi yang nyaman itu yang melenakan. Kenyamanan itu sering kali menimbulkan rasa malas untuk beranjak. Aku lebih memilih untuk nulis bukan karena aku suka atau berbakat disitu, tapi karena aku harus belajar untuk menambah kapasitas diri yang sebelumnya aku gak bisa. Harus nyari bahan, mutar otak, baca ulang, revisi, dan semua itu melelahkan. Hal-hal melelahkan itulah yang akhirnya membuatku belajar sesuatu, menambah sedikit kemampuan, dan menghargai waktu.

Membuat pilihan biasanya disertai dengan pertimbangan plus-minus dari setiap pilihan. Ketika ditanya "kamu main game apa di hp?" sering kali aku bilang kalau aku gak suka nge-game, padahal aku betah seharian di rumah cuma main Hayday atau Candy Crush. Sebisa mungkin aku gak meng-install game apapun di hp, karena banyak hal lain yang bisa dikerjakan dengan waktu yang dipakai untuk nge-game. Nah, hal-hal yang disenangi dan menyamankan itu berkaitan dengan plus-minus sebuah pilihan, kadang yang mudah dan enak gak memberikan dampak berarti untuk diri sendiri, tapi gak selamanya juga.

Tujuanku menghindari pilihan yang nyaman dan menyenangkan itu sebenarnya untuk memperbaiki diriku sendiri, lebih tepatnya meningkatkan kapasitas diri. Aku ini banyak gak bisanya, gak bisa masak, gak bisa nyuci sepatu, gak bisa hemat, gak bisa nulis panjang-panjang,  gak bisa menyampaikan pendapat, gak bisa tegas, dan banyak gak bisa lainnya. Salah satu tujuan aku untuk sekolah atau kerja sejauh mungkin dari rumah, ya buat memaksa diri aku sendiri belajar mandiri, melengkapi apa-apa yang sebelumnya aku gak bisa. Bukannya di rumah juga bisa belajar untuk ngurusin semuanya sendiri? Bagi sebagian orang mungkin bisa, tapi aku tak yakin dengan diriku. Bukan karena aku membenci rumah atau ingin meninggalkan orang tua, justru kalau di rumah aku gak perlu mikir hari ini mau makan apa, berapa duit yang harus aku hemat, perlu gak sih beli barang A, gimana caranya aku bisa bangun buat sholat subuh, gimana caranya aku bertahan hidup saat duitku udah habis. Keadaan kritis sering kali memaksa aku untuk menjadi bisa, bulan lalu aku akhirnya baru bisa 'ngeberdiriin' (apasih ni artinya?) motor dengan tongkat dua (apasih namanya ini?) yang di bawah itu loh, Horeee! 

Pada beberapa waktu, aku justru nekat memilih sesuatu yang aku belum bisa dibandingkan dengan yang aku sudah bisa. Berada di tim desain dan dokumentasi misalnya, bikin aku dagdigdug karena nantangin diri sendiri (udah dibilangin, mendingan di tim acara aja, tau rasa kan lu!). So far, itu berakhir dengan sangat menyenangkan dan banyak pembelajaran. Berjalan berlawanan dari hal-hal menyenangkan itu, kayak memaksa diri sendiri untuk bisa. Mungkin beberapa orang menilai itu terlalu berlebihan, kan gak semua hal kita harus bisa? Yap, memang gak semua hal kita harus bisa, tapi aku memiliki beberapa hal yang aku harus bisa melakukannya, minimal gak buta-buta banget.

Kalau aku memilih hal-hal yang membuatku nyaman daripada harus bekerja keras, aku gak akan pernah belajar menghadapi diri sendiri, menyadari keterbatasanku, dan melihat sisi lain dari kehidupan. Kenyamanan itu sering buat kita jadi terlena, tanpa sadar ternyata orang-orang udah sampai finish, lah kita masih belum bergerak dari start. Semua hal itu bisa dibuat fleksibel, disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan sendiri. Ditambah lagi, kita semua memiliki prioritas yang berbeda-beda, tentunya akan mempengaruhi pilihan yang dibuat. Misalnya saja untuk memilih jodoh, ups! Kalau bahas ini bakalan lebih panjang, skip saja. Intinya, usahakanlah memilih pilihan yang bisa meng-upgrade diri kita sendiri.

Tulisan ini bukan untuk membuktikan bahwa sekarang aku udah bisa melakukan banyak hal, udah hebat, udah berubah drastis, bukan, bukan itu. Justru aku masih punya  banyak banget kekurangan. Bagi yang kenal aku, aku ya aku yang sekarang. Setidaknya bisa dibayangin kalo sekarang aja cuma kayak gini, apalagi dulu?

Kalau kalian memilih sesuatu itu berdasarkan apa?

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Tokyo in Love

Instagram Ads: Reach More Your Specific Audience