Stand in the Middle

Aku sering kali meredam setiap pertanyaan yang tadinya ingin ku tanyakan. Berpikir dua, tiga, hingga berkali-kali, lalu keingintahuan itu menguap. Pun begitu ketika aku ingin berkomentar terhadap banyak hal, bagian tertentu dari pikiranku akan menggiring pada penilaian “Setiap orang memiliki sudut pandang sendiri, tidak hanya nilaimu yang benar, dan tiap orang memiliki batas toleransi  berbeda. Kamu tak bisa membuat orang lain melakukan hal yang menurutmu baik, karena bisa jadi kamu tak memiliki alasan yang sama seperti dia”. Segala ketidaksetujuan dan kekesalanku akan bermuara pada “Ya sudah, tidak mengapa jika itu berbeda”
Aku bisa bersikap lebih rasional selagi keadaan pikiran dan tubuhku tidak sedang kelelahan. Lelah membuat orang kadang tak begitu peduli lagi dengan rasionalitas, justru diri sendiri yang butuh diperhatikan oleh orang lain, menjadi egois di waktu tertentu. Bagiku, ini sebuah kebutuhan mendesak untuk mengembalikan kewarasan berpikir, seperti hasrat ingin makan untuk menghilangkan rasa lapar dan mengembalikan kondisi jasmani yang optimal. Begitulah kira-kira keadaanku dan mungkin sebagian orang ketika benar-benar kelelahan. 
Pada satu titik, aku berpikir bahwa hidup ini mungkin bagaikan jungkat-jungkit (seesaw). Bayangkan saja jika jungkat-jungkit itu hidup kita sendiri. Kita tak bisa membiarkannya jatuh ke kanan atau ke kiri, make it balance. Pernah berada di posisi ketika kamu tidak percaya diri? Kemudian orang-orang akan mengatakan bahwa “kamu itu spesial dan memiliki bakat, sadarlah dengan kemampuanmu”, lalu ketika kamu sudah sangat percaya diri dan mengetahui kelebihanmu maka orang-orang mengatakan Jangan terlalu bangga dengan kemampuanmu, masih ada yang lebih hebat. Rendah hatilah sedikit”. Pernah? Mungkin kamu akan paham dengan tujuanku menulis ini. 
Kita akan selalu mendapatkan begitu banyak saran dan tuntutan untuk menjadi “sesuatu yang entah apa” dari masyarkat. Sangat memusingkan, karena tak ada seorangpun yang membuatnya spesifik untuk menjadi apa kita dari tuntutan-tuntutan itu. Lalu diri kita harus mengikuti saran yang mana? Si A dan si B menuntut hal yang berbeda. Kita mulai kebingungan. Ketika ada yang bercerita sambil menangis di depan kita, haruskah kita memeluk atau diam mendengarkan? 
Aku merasa bahwa dunia ini tak pernah membuat manusia menjadi cukup. Itulah mengapa lingkungan selalu berfokus pada kekurangan diri manusia. Perbaiki, ulang, tambah, coba lagi, raih lebih besar, dapatkan lebih banyak, tiada habisnya. Pikiranku tentang jungkat-jungkit memberi pemahaman bahwa jika saja kita berdiam pada satu sisi, maka lingkungan akan memaksa kita berjalan ke arah sisi yang satunya lagi. Kemudian, setelah kita berada di posisi lainnya, semakin banyak suara untuk mendorong kita berpindah pada sisi sebelumnya. Tempat yang cukup aman hanya di tengah, membuat kedua sisi itu seimbang. 
Dua sisi itu bukan berarti melulu perihal baik dan buruk atau sesuatu yang berlawanan, bukan pula salah satunya lebih baik dari sisi lainnya. Misalnya, kemampuan memimpin dan kesediaan dipimpin tidak ada yang menetapkan salah satunya lebih baik dari yang lain. Justru ketika manusia hanya ingin memimpin dan tak bisa dipimpin, akan membuatnya mendapat banyak nyinyiran dari lingkungan. Secara terbuka mengungkapkan emosi dan bersabar, mana yang lebih baik? Apakah ini dua hal yang bertolak belakang? Apakah salah satunya lebih baik? Kembali pada bagaimana lingkungan menuntut dan menilai manusia di dalamnya. 
Andai saja, (mari kita berandai sebentar), kita berada di tengah, maka kita tidak masalah jika menyampaikan perasaan secara terbuka ataupun bersabar. Tergantung kebutuhan dan nilai yang berlaku saat itu. Kita akan lebih mampu menghadapi kalimat-kalimat berupa “Sabarlah sedikit, tak perlu frontal begitu” atau “Kalau kamu marah atau senang itu dikeluarkan, jangan dipendam, nanti malah jadi penyakit mental”. Kita bisa mengatur mode dalam diri kita, mau sedikit ke kanan atau sedikit ke kiri, semacam lebih fleksibel.
 Berada di tengah artinya akan membuat kita bisa melihat dengan baik apa yang ada di kedua sisi. Ini sulit. Ya, memang, aku pun merasa begitu. Manusia itu memang memiliki kecenderungan, karena dengan begitulah kita diklasifikasikan. Manusia yang introvert, extrovert, pemberani, pemalu, dan lain sebagainya. Berada di tengah bukan berarti kita tak memiliki bagian dominan, tak memenuhi klasifikasi manapun, bukan begitu maksudku. Mari memosisikan diri kita tidak terlalu di ujung kanan atau kiri, sedikit lebih mendekati median agar dapat fleksibel untuk memberikan reaksi pada berbagai tuntutan lingkungan. 
Manusia itu berubah dan berkembang. Kita belajar dari apa saja dan mana saja. Cara kita belajar pun bervariasi, cepat atau lambat, baik secara langsung maupun tidak, yang penting kita masih mau belajar. Aku belajar untuk berdiri mendekati median, perlahan bergerak dari salah satu ujung sisi. Maka apabila nyinyiran untuk menjadi ini dan itu muncul, setidaknya kita dapat menimbang sejalan dengan tujuan hidup dan nilai-nilai yang kita miliki.

Comments

  1. tapi jika pengibaratannya adalah jungkat-jungkit bukankah permainan akan asik jika ujung dengan ujung yang lain saling merasakan diatas atau dibawah. apa gunanya permainan itu jika kita hanya berdiri ditengah? (^_^)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Resensi Tokyo in Love

Instagram Ads: Reach More Your Specific Audience