Posts

Kepada Tuan

 Wahai Tuan... Aku pernah begitu khawatir dan ragu ketika kali pertama kau datang dengan rencanamu.  Hingga muak pintaku untuk menjarakkan dirimu yang tak kunjung terwujud.  Aku tak yakin dengan diriku sendiri untuk bisa menjawab mengapa dan bagaimana yang sering kali berkecamuk di kepalamu.  Sementara aku, tak banyak mengapa dan bagaimana yang ku utarakan padamu.  Wahai Tuan...  Pada beberapa waktu kau adalah sesuatu yang ku istikharahkan.  Pada kali lainnya, kau adalah sesuatu yang ku hajatkan.  Tuan.. Rasa itu kian membubung.  Peduliku semakin tak terbendung.  Rindu pun sudah tak terhitung.  Aku ingin kau tau,  Kau bukan sebuah salah hanya karena kau belum menjadi siapa. Mungkin saja kau adalah doa yang pernah ku pinta  Terimakasih karena telah datang di masa kini, saat semuanya seakan terjadi di waktu yang tepat. 

Stand in the Middle

Aku s ering kali  meredam setiap pertanyaan yang tadinya ingin ku tanyakan. Berpikir dua, tiga, hingga berkali-kali, lalu  keingintahuan itu menguap. Pun begitu ketika aku ingin berkomentar terhadap banyak hal, bagian tertentu dari pikiranku akan menggiring pada penilaian “Setiap orang memiliki sudut pandang sendiri, tidak hanya nilaimu yang benar, dan tiap orang memiliki batas toleransi  berbeda. Kamu tak bisa membuat orang lain melakukan hal yang menurutmu baik, karena bisa jadi kamu tak memiliki alasan yang sama seperti dia” . Segala ketidaksetujuan dan kekesalanku akan bermuara pada “Ya sudah, tidak mengapa jika itu berbeda” .  Aku bisa bersikap lebih rasional selagi keadaan pikiran dan tubuhku tidak  sedang kelelahan . L elah membuat orang kadang tak begitu peduli lagi dengan rasionalitas, justru diri sendiri yang butuh diperhatikan oleh orang lain, menjadi egois di waktu tertentu. Bagiku, ini sebuah kebutuhan mendesak untuk mengembalikan kewarasan berpikir, seperti hasrat in

Hidup Kita Sendiri Pun Cukup

Mungkin kita butuh sesuatu untuk disalahkan dan menjadikan takdir sebagai sasaran empuk untuk melampiaskannya Manusia selalu punya hasrat untuk meraih atau mencapai sesuatu. Tidak ada yang salah memang, karena begitulah hukum alam, naluri bawaan kita sejak lahir. Realitanya, banyak orang yang berlari bahkan jatuh-bangun mengejar sesuatu, yang herannya untuk menandingi orang lain. Kita mungkin sering melihat bahwa anak tetangga sudah bekerja di perusahaan multinasional, sedangkan kita lulus kuliah pun belum. Teman kita ada yang sedang menempuh pendidikan di jenjang lebih tinggi, sedangkan kita masih terombang-ambing bersaing dengan ribuan pencari kerja. Sepupu kita mungkin sedang berbulan madu, sementara kita masih saja lembur di malam minggu karena tidak ada yang bisa lembur selain jomblo. Seseorang yang kita kenal sudah membagikan foto-foto liburannya di luar negeri, sedangkan kita masih berkutat dengan tekanan kerja di kantor dari pagi sampai sore. What a shit, m

Instagram Ads: Reach More Your Specific Audience

Image
Hello, all! I'm back. This time I'm gonna talk about something so close to us. You may know where the photo supposed to be at. Yup, Instagram. Well, I wanna share all about the tool that we can use to maximize our goal while using this platform. Do you want to know how to do it? Let's check it out. If you have a business or running a business or project, surely you are familiar with social media marketing because whatever your target market is, it can easily be found on social media and through the communities in it. Especially the internet can classify each person based on their interests and needs through what they do on the internet. Have you ever searched for iPhone XI on Google and surprisingly on your Instagram, ads will continue to appear related product, iPhone XI? The internest has studied and stored the algorithm of each of its users. When you use social media for marketing your business either it is a product, service, or anything you name it, have

Selamat! Aku Bangga!

Image
Dear Indah, Ku lihat namamu dari deretan nama lain di daftar itu dengan keterangan "LULUS". Aku tau apa artinya. Itulah hasil ujianmu tempo hari yang sungguh mendebarkan dan hasil dari tahun-tahun berat yang telah kau lalui. Hei, aku ingin sekali memeluk mu dengan penuh kebanggan hari ini. Pengumuman kecil yang kau buat sungguh membuatku tak dapat menahan haru. Meski kau tak menyampaikannya langsung padaku, aku tak peduli, tak sedikitpun kebahagiaanku atasmu berkurang. Semua kebanggan itu utuh untukmu. Lihatlah dirimu! Sekarang kau seorang DOKTER. Sebentar. Astaga! Kau sungguhan seorang dokter sekarang. Anak perempuan manja yang dulu menawarkan duduk sebangku padaku di saat hari pertama kelas sepuluh. Kau sungguh manja hingga masih memenuhi hidupku sampai saat ini. Aku tak pernah lupa bagaimana kau dulu ogah-ogahan belajar di kelas saat mood mu sedang tak baik. Kau murid nakal! Anak perempuan cengeng yang sering menangis entah karena hal apa saja. Anak nakal yang senang

30DaysWithoutSocialMedia

Image
Hari ini aku mau share  tentang pengalaman 30DaysWithoutSocialMedia yang aku lakukan beberapa bulan lalu. Challange  ini terpikirkan begitu saja karena aku merasa ada yang salah dan di luar batas kewajaran dari perilaku ku dalam menggunakan aplikasi social media  sehari-hari. Sebenarnya ini belum termasuk kecanduan, hanya ketidaknyamanan yang aku rasakan terhadap diriku sendiri. Sehingga, aku merasa perlu untuk melakukan sesuatu pada diriku. It’s me , selalu membentuk habbit baru serta melakukan trial and error saat tidak nyaman dengan apa yang aku lakukan sekarang. Ini bukan kesalahan social media  itu sendiri, tapi aku yang tidak mampu membatasi diri dengan bijaksana. Setelah aku pikirkan dengan baik, ternyata social media  menyita sebagian besar waktuku dalam sehari. Jika aku tidur selama 8 jam, kemudian belajar di sekolah selama 5 jam, waktu makan 2 jam, mandi+siap-siap 2 jam, masih ada sisa 7 jam dan itu aku gunakan untuk hal lain sambil memeriksa social media . Kegiatan