30DaysWithoutSocialMedia


Hari ini aku mau share tentang pengalaman 30DaysWithoutSocialMedia yang aku lakukan beberapa bulan lalu. Challange ini terpikirkan begitu saja karena aku merasa ada yang salah dan di luar batas kewajaran dari perilaku ku dalam menggunakan aplikasi social media sehari-hari. Sebenarnya ini belum termasuk kecanduan, hanya ketidaknyamanan yang aku rasakan terhadap diriku sendiri. Sehingga, aku merasa perlu untuk melakukan sesuatu pada diriku. It’s me, selalu membentuk habbit baru serta melakukan trial and error saat tidak nyaman dengan apa yang aku lakukan sekarang. Ini bukan kesalahan social media itu sendiri, tapi aku yang tidak mampu membatasi diri dengan bijaksana.

Setelah aku pikirkan dengan baik, ternyata social media menyita sebagian besar waktuku dalam sehari. Jika aku tidur selama 8 jam, kemudian belajar di sekolah selama 5 jam, waktu makan 2 jam, mandi+siap-siap 2 jam, masih ada sisa 7 jam dan itu aku gunakan untuk hal lain sambil memeriksa social media. Kegiatan yang aku lakukan tanpa sembari mantengin social media sama sekali adalah tidur, mandi, dan ibadah. Sebenarnya, buatku sendiri tidak ada yang terlalu penting di social media. Aku bukan selebgram/selebtwit yang memiliki followers untuk aku perhatikan, aku juga bukan influencer yang bekerja dan berbuat sesuatu dengan menggunakan social media, dan aku juga tidak menjalankan bisnis disana. 

Aku hanya manusia yang tidak bisa menahan diri dari membuka aplikasi social media. Padahal yang aku lakukan hanya sekedar melihat postingan yang muncul di beranda, mantengin story yang berderet dan tidak ada habisnya, memeriksa direct message yang sering kali tidak penting, melihat jumlah followers yang tidak seberapa, memeriksa berulang kali feed Instagram yang biasa saja, membaca ulang komentar orang-orang di postinganku. Ketika aku memikirkan ulang tentang diriku yang seperti itu, rasanya aku ingin meneriaki diriku sendiri dan bilang “ITU SEMUA UNFAEDAH JUN!”

Siklus ku biasanya begini: Instagram-Twitter-Tumblr-Facebook-Line-Instagram begitu terus berulang. Bosan dengan instagram, aku akan lari ke twitter dan seterusnya. Niat awal yang hanya ingin memeriksa 5 menit, ternyata jadi 1 jam, rencana untuk masak harus dibatalkan karena sudah hampir telat ke kampus dan akhirnya makan di luar. Aku paling bermasalah dengan jam tidur. Kebiasaan untuk memeriksa social media sebentar sebelum tidur, tapi sekalinya sadar sudah 1 jam atau 2 jam berlalu, bahkan membuatku kesulitan untuk tidur karena cahaya handphone.


Sering juga aku merasa sudah sangat mengantuk tapi masih saja kekeuh mantengin social media, hingga hp yang aku pegang terlepas menimpa wajahku, itu sakitnya luar biasa ditambah rasa kesal pada diri sendiri, karena aku tidak mungkin kesal sama benda mati yang menghantamku. Kemudian aku tertidur dalam kondisi psikologis yang kelelahan, karena otak sudah kelelahan bekerja namun mata dan tanganku masih saja memaksa bekerja dengan hp. Efek lain dari kelelahan psikologis yang ditimbulkan social media ke diriku adalah malas gerak (mager).

Aku tak berani self-diagnose kalau diriku socmed addiction, tapi tubuhku secara kompulsif akan membuka aplikasi itu setiap saat, bahkan tanpa aku niatkan pun, jari-jari dan mataku dengan sendirinya mencari icon instagram/twitter/tumblr/etc. Inilah yang menjadi distraktor dari banyak pekerjaanku yang tertunda. Tindakan kompulsif ini juga yang membuatku merasa tidak pernah melakukan sesuatu hal baru atau sesuatu yang aku inginkan, seperti baca buku baru, belajar masak, nulis agenda, duduk di taman, bersihin kulkas, merapikan file di laptop, menikmati musik, meng-update schedule, potong rambut, bahkan menghubungi teman-temanku pun rasanya tak ada cukup waktu. Seolah-olah sibuk dengan dunia antah berantah.


Aku sadar dengan masalah ini sejak lama, tapi aku tak berani berbuat apa-apa, tak lain dan tak bukan karena FOMO (fear of missing out). Sejenis perasaan takut jika aku akan dilupakan oleh orang-orang yang ada di social media; nantinya akan kehilangan banyak followers, tidak ada yang menyukai dan mengomentari postinganku, tidak ada yang melihat insta story ku lagi, aku tak tau apa yang tengah ramai dibicarakan masyarakat instagram dan twitter, aku tak tau kegiatan keseharian teman-temanku.
Pernah ada temanku yang bertanya, “Kamu ga takut ketinggalan info dan berita?” Ini salah satu yang memperkuat FOMO dalam diriku, dia menakut-nakuti dengan sesuatu yang memang aku takuti. Lalu aku mulai berpikir ulang, bahwasannya aku bukan orang yang suka baca berita dan aku tak pernah menyengajakan diriku untuk membaca berita melalui social media. Lagi pula, jika permasalahannya karena berita, masih ada portal berita yang dapat diakses tanpa menggunakan social media.

Pada satu titik, aku merasa sangat jenuh dengan diriku sendiri yang tak mampu mengontrol diri dengan baik, menahan diri dari kompulsifitas yang tidak berguna, dan menggunakan waktu untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Pada tanggal 25 Oktober 2018 aku menghapus semua aplikasi social media di hp ku. Tujuanku bukan untuk menutup diri dari dunia digital atau menarik diri dari internet, hanya sebatas untuk menghilangkan distraktor yang sering menghambatku melakukan berbagai hal. Aku masih menggunakan email, whatsapp, youtube, streaming movie, baca blog, dan menggunakan google.

Should I say that the first week was challenging and so hard? Well, I didn’t feel it tho. Anyway, I don’t have anything to worry in my social media. Aku tak mendapatkan uang dari platform itu, aku tak memiliki klien yang akan menghubungiku disana, dan aku bukan social media addiction. Aku hanya secara kompulsif menggunakannya ketika aplikasi itu ada di hp ku. Aku bahkan sadar akan ketidaksukaanku pada kompulsifitas yang mendistraksi banyak kegiatanku.


Pada minggu pertama tanpa social media, rasanya aneh. Aku hanya bisa menggunakan whatsapp untuk menghubungi semua orang. Kompulsifitasku masih ada. Jari-jariku mencari icon instagram, twitter, tumblr, facebook, yang biasanya aku sentuh, tapi sekarang tidak ada. Begitu terus setiap kali aku memegang hp selama berhari-hari. Lucunya, setelah alat inderaku stuck tidak menemukan apa yang mereka cari di hp, akhirnya otakku mulai berpikir tentang apa yang harus aku kerjakan sekarang. Disitulah beragam kegiatan yang selama ini ingin aku lakukan bermunculan.

Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba potong rambut sendiri. Sebenarnya sudah lama aku ingin potong rambut tapi selalu tidak sempat dan mau belajar potong sendiri tapi belum ada waktu. Lagi-lagi karena waktuku habis untuk social media. Setelah sekian lama, akhirnya keberanian untuk potong rambut sendiri itu muncul, ya walaupun menurutku berani dan nekat itu beda tipis. Jadi hasilnya adalah aku menyesal dengan pekerjaan nekat yang tidak profesional itu.

Tujuanku istirahat dari social media bukan untuk melakukan proyek besar sampai bisa menyelesaikan buku, membangung start-up, atau mengelola konten youtube. Aku hanya ingin membenahi kembali rutinitasku dan menikmati apa yang sedang aku lakukan tanpa terdistraksi oleh social media. 

Aku selalu bermasalah dengan jam tidur, karena biasanya tidur ketika larut malam dalam keadaan lelah psikis dan bangun siang. Aku bangun subuh hanya untuk sholat, karena jam tidurku masih kurang jadi aku melanjutkan tidur hingga siang. Lagi pula, kelasku masuk siang, jadi aku merasa bangun pagi tidak terlalu penting. Semenjak kehilangan social media di hp, aku bisa tidur lebih awal dengan perasaan tenang, tetapi jadwal bangunnya masih sama, jadi jam tidurku lebih panjang dua kali lipat.

Memasuki minggu kedua tanpa social media, aku mulai menyadari bahwa aku tak ingin hidupku hanya dihabiskan untuk tidur. Ada banyak hal yang bisa aku lakukan di pagi hari, nulis, menikmati musik, sarapan, baca buku, atau apapun itu yang membuat mentalku menjadi lebih sehat karena merasa cukup dan puas dengan hidup yang aku punya. Akhirnya aku memulai latihan militer ala diriku sendiri dengan memaksa diriku tidak melanjutkan tidur setelah sholat subuh. Ada yang bilang kalau sesuatu itu dilakukan selama 21 hari secara berulang, akan menjadi sebuah kebiasaan. Itu terjadi dalam beberapa bulan periode hidupku.

Apa yang terjadi dalam hidupku selama absen dari sosial media?
Aku memanfaatkan whatsapp dengan baik untuk sepenuhnya berkomunikasi secara personal dan intens dengan orang-orang yang aku pentingkan. Aku menjadi lebih ramah untuk menanyakan kabar teman-temanku tanpa harus mereka yang menghubungiku terlebih dahulu. Aku menikmati chatting dengan teman-teman dan keluargaku, bukan hanya sebatas melaporkan tentang hidupku tapi juga merasa ingin tahu apa yang terjadi dengan hidup mereka. Aku jadi lebih menikmati tiap percakapan dengan Ayah, Ibu, adik, dan teman-temanku karena aku memiliki waktu untuk mereka. Tak ada yang membatasi dan mengejar waktuku.


Aku tak punya platform untuk menyampaikan emosi atau perasaanku, maka aku kembali menulis diary. Sesungguhnya aku merasa jauh lebih baik ketika menulis buku harianku setiap hari. Semua emosi entah itu bahagia, sedih, kesal, kecewa, marah, dan juga kejadian-kejadian dalam hari itu bisa aku tuliskan sesuka hati. Itu benar-benar membuatku lega dan tenang. Aku merasa tak banyak emosi yang perlu aku lampiaskan pada orang lain, atau keluhan yang perlu aku bagi pada orang lain. Aku memiliki tempatnya sendiri. Buku harianku yang setelah 9 bulan sejak awal tahun hanya terisi beberapa halaman, tiba-tiba penuh hanya dalam waktu 2 bulan. Kebiasaan ini juga yang sekarang membuatku jarang berkomentar dan cuap-cuap di social media, karena aku merasa tak perlu semua orang tau tentang apa yang aku rasakan.

Pagiku menjadi lebih sibuk dan menyenangkan. Ada banyak hal yang bisa aku lakukan di pagi hari; menyeduh lemon hangat, sarapan, menikmati musik, baca buku, memperbaharui schedule, dan juga latihan sholat duha plus ngejar khatam Al-Qur’an sebelum memasuki Ramadhan. Aku jadi memiliki lebih banyak waktu luang untuk merencanakan buku yang akan dibaca, menulis dan mengirim postcard, atau rencana mau main kemana.

Aku menjadi lebih perhatian pada hal-hal yang sedang terjadi di sekelilingku. Karena tak ada instagram yang biasanya aku pelototi setiap saat, maka selama di bus aku bisa mengamati orang-orang, menikmati cuaca, membaca buku, atau menghapal kosa kata baru. Kalaupun aku menggunakan hp, maka yang sedang ku kerjakan adalah membaca atau mengedit foto. Hp ku menjadi lebih banyak berfungsi untuk melakukan hal lain dari sekedar membuka social media.

Apakah sekarang aku sudah bisa hidup tanpa social media?
Tentu saja belum. Ketika tulisan ini muncul di akun social media ku, berarti aku masih menggunakannya secara aktif. Ternyata, aku rindu berat sama Instagram, kebetulan aku memang paling aktif disini. Ada beberapa temanku juga yang menanyakan keberadaanku selama tak muncul di instagram. Bahkan yang tak ku sangka, ada yang secara langsung memintaku untuk kembali ke instagram. Aku tak tau entah pengaruh apa yang ku sebarkan, tapi rasanya aku jadi ingin segera kembali dan menemui orang-orang di dunia itu.


Tanggal 30 November 2018 aku menginstall kembali aplikasi instagram. Hanya instagram. Ada beberapa hal yang aku sadari setelah sebulan vakum dari social media, aku lebih mudah bosan melihat postingan dan story yang muncul di berandaku. Aku sudah tak setangguh dulu yang bisa berjam-jam scrolling sampai ke bawah-bawah dan marathon nonton insta story. Akhirnya aku hanya menggunakan instagram untuk membagikan sesuatu atau melihat postingan resep masakan (kebetulan lagi belajar masak) atau inspirasi untuk foto atau melihat insta story orang tertentu yang aku ingin lihat saja.

Semua ada waktunya, makin kesini aku mulai kompulsif lagi menggunakan instagram, walaupun aku belum install aplikasi lainnya. Hanya saja, ketika jenuh, aku bisa memaksa diriku untuk melepaskan hp dan menjauhinya. Aku menyadari bahwa semakin sering aku membagikan banyak hal pribadi dalam hidupku kepada orang lain, semakin aku membentuk banyak persepsi masyarakat tentang hidupku. Persepsi terhadap penilaian masyarakat inilah yang menggangguku ketika memikirkan tujuan hidup dan rencana masa depanku. Padahal, itu semua gara-gara aku.

Akhirnya aku mau bilang, pengalamanku tanpa sosmed itu rasanya… itu adalah 30 hari yang menenangkan, membahagiakan, dan sangat produktif. Aku tidak mengharuskan siapapun untuk melakukan hal serupa, tapi kalau kalian memiliki probel yang mungkin serupa denganku, tidak ada salahnya untuk dicoba. Aku yakin tiap orang akan mendapatkan petualangannya sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Tokyo in Love

Instagram Ads: Reach More Your Specific Audience