Behind the Scene Sebuah Skripsi
Setelah kebut-kebutan ngejar deadline pendaftaran wisuda, hari ini
baru sempat bikin tulisan “hore” karena akhirnya si Juny lulus juga. Aku baru
banget beres munaqasyah (a.k.a sidang skripsi), 19 Juli 2017 lalu, di ujung
tanduk semester 8. Alhamdulillah, duit SPP semester 9 bisa dipake jajan :D Tapi
serius, dua minggu belakangan adalah 2 minggu terpanjang dan paling sibuk yang
pernah aku alami. Rasanya, tiap jam dalam sehari itu berarti banget buat
ngurusin segala macam surat-menyurat atau apapun yang terkait dengan birokrasi.
Ini mau cabut dari kampus aja ribet banget, yang mesti diurus bejibun dan
lumayan bikin geregetan.
Sedikit cerita, aku mulai ngerjain skripsi
itu sejak September 2016, selesai KKN langsung dapat pembimbing. Kemudian sempat
aku tinggalin sampai awal Desember, karena waktu itu ada 2 deadline proyek
riset lain yang aku kerjain bareng teman-teman. Ditambah lagi, aku PPL di
pertengahan Oktober sampai November. Jadi, fokus nulis dan bimbingannya itu
baru di Januari 2017. Riset aku kelar di bulan Mei, lanjut Seminar Hasil di
pertengahan Juni (berkah Ramadhan yang bikin aku selamat dari santapan penguji,
Alhamdulillah). Sebelum libur lebaran kemarin, aku udah usahain buat ngejar
munaqasyah dulu, tapi karena prosedural fakultas gak memungkinkan, akhirnya aku
harus nunggu kampus mulai aktif lagi di awal Juli.
19 Juli 2017 : LULUS
“Ayah.. Ibu.. gadis kecil kalian udah
jadi sarjana”
Aku senang banget karena gak perlu
buang duit buat bayar SPP semester 9, yang artinya sama aja kayak sedekah ke
kampus.
Setelah selesai munaqasyah, aku
berpikir tentang beberapa hal, rasanya malah sedih. Aku sadar, saat aku ujian,
mata mata yang menontonku terlihat cemas. Bukan mencemaskan aku, tetapi
mencemaskan hidup mereka, nasib mereka yang kapan akan selesai. Terlebih di
saat pengumuman kelulusan, mereka tersenyum, tapi sungguh aku justru menerima
banyak kesedihan, baik dari ucapan yang tersirat, tatapan mata, bahkan makna di
balik senyum itu. Aku tak lagi tau bagaimana perasaanku sebenarnya, senang
tentu saja, tapi aku justru sangat sedih untuk berhadapan dengan teman-temanku,
seolah aku telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan karena mendahului
mereka. Belum lagi ketika berseliweran di Fakultas setiap hari buat ngurusin
revisi dan surat-menyurat. Aku menangkap tatapan kesal dari mereka, seolah
bilang “ngapain lagi sih ni anak masih disini?” T.T Rasanya keberadaanku
menjadi beban bagi mereka yang sedang mengadu nasib dengan TA.
“Juny enaklah, pembimbingnya dan
pengujinya baik”
“Juny penelitiannya simpel, pantas aja
selesainya cepat”
“Juny kan udah dekat sama
pembimbingnya, jadi prosesnya ya cepat”
“Juny rajin, bisa fokus ngerjain
skripsi, jadi revisiannya cepat”
Aku pernah menerima ungkapan-ungkapan
itu dari mereka. Rasanya, kok sedih banget gitu ya? Seolah-olah aku gak perlu
melakukan apapun, dan voila! semuanya
selesai dengan sempurna. Mereka gak sadar berapa tahun waktu yang sudah aku
gunakan untuk menjalin hubungan baik dengan setiap bagian di kampus, di saat yang
lain bisa haha hihi kesana kemari, aku masih harus di kampus sampai sore bahkan
maghrib. Mereka mungkin lupa kalau aku juga sama seperti mereka, aku mahasiswa,
aku juga skripsian, aku juga revisian, tulisanku juga dicoret-coret dengan
berbagai macam masukan, dan sesimpel apapun riset yang mereka katakana itu, aku
juga ambil data ke lapangan. Guys, I’m a
student too, like u all.
Rajin? Kok rasanya berlebihan banget
ngatain aku rajin. Bahkan sampai saat ini pun, aku sendiri gak tau kapan aku
pernah belajar rutin sebulan sebelum ujian, atau kapan aku bisa punya waktu
buat sekedar ngerubah posisi perkakas di kamar setiap minggu. Mereka gak tau
aja kalau hari libur, aku lebih banyak tidur dari pada ngerjain skripsi, sampai
akhirnya alarm deadline dalam diriku berbunyi, aku harus membayarnya tanpa tidur
bermalam-malam. Mungkin kebiasaan itu yang sekarang bikin aku betah terjaga
sampai pagi. Pernah suatu ketika, karena udah stress banget sama skripsi, aku
sampai bilang “kayanya kalo ngerjain skripsi tanpa air mata itu belum afdhol”.
See? Sefrustasi apa aku ketika itu kira-kira? Bermalam-malam harus ku nikmati
tanpa tidur, demi ngumpulin perbaikan esok harinya, as soon as possible, karena aku udah gak mau ketemu semester 9. Sebenarnya
bukan rajin, tapi lebih karena aku udah gak betah berlama-lama berada di
situasi ini. Ketika setiap perbaikan itu tak kunjung usai dan terus berulang,
ditambah lagi masalah lain yang juga muncul, mungkin parkiran dan pohon rindang
depan fakultas tau gimana aku saat itu. Kayanya malu banget untuk mengingat saat
aku dan Kiki pernah sama-sama nangis di kampus. Semua itu hanya behind the scene dari setumpuk kertas
yang sudah terjilid rapi, yang tak pernah ingin diketahui orang-orang dan yang
tak pernah dipedulikan siapapun, karena itu memang sangat tidak menarik.
Sering kali, kita memang menilai sesuatu
dari hasil yang kita lihat, bahkan kita gak pernah peduli pada proses di balik
itu semua. Kita lebih suka bertahan dengan persepsi negatif terhadap orang lain
(kita menilai dosen A kejam, dosen B gak asik, dosen C pelit nilai, dan blabla)
hanya karena kita gak pernah kenal mereka dari sisi yang berbeda. Itu poin
pertamanya, kita terlalu nyaman dengan penilaian pribadi. Kita merasa gak perlu
buang waktu dan energi hanya untuk merekonstruksi penilaian yang udah kita
buat. Bahkan pernah ada yang nanya tips buat rajin ngerjain skripsi, tips biar
mudah bimbingan, sampai tips biar termotivasi untuk selesai, aku sendiri pun
gak tau gimana caranya. Aku kira masing-masing kita punya kemampuan adaptasi
yang sama, tapi kemampuan untuk survive yang
berbeda kali ya? Sampai saat ini pun, aku gak tau gimana caranya untuk
menciptakan ‘rajin’ dalam diri seseorang, just
do it do it do it do it. Lama-lama kalian bakal dapat duit :D Aku juga gak
punya mantra atau jampi-jampi buat bikin pembimbing berubah 180 derajat dari
yang susah ditemui jadi bisa ditemui 24 jam.
Kalian perlu tau, 98% dari apa yang
berhasil ku selesaikan hari ini, bukan karena kehebatanku, ketekunanku,
kegigihanku, perjuanganku, tapi karena Tuhan yang selalu mempermudah setiap
urusan-urusanku. Termasuk tulisan ini yang akhirnya bisa kalian baca. Usahaku
yang tak seberapa itu cuma memberi kontribusi 2%, itupun masih dibagi dua
dengan doa yang alakadarnya. Bahkan kemarin ada senior yang nanya, “Amalan apa
yang udah Juny lakukan, kok dimudahkan gitu bisa selesai revisian dan ngurus
wisuda kurang dari 2 minggu?” Aku cuma cengengesan ketika ditanya, lebih karena
gak tau mau jawab gimana. Seketika aku ingat pesan Ayah dan Ibu yang selalu
bilang untuk gak lupa sholat dan berdoa. Kalau dulu, aku cuma “iya”in aja biar
obrolannya cepat kelar, tapi ternyata meminta kepada yang Maha Pemberi itu akan
memungkinkan apapun yang awalnya ku kira tidak mungkin. Allah itu bisa dirayu
kok, asalkan serius dan konsisten. Aku selalu yakin, kalau setiap doa itu
didengar dan akan dijawab, walau nanti Allah menjawabnya dengan cara yang
berbeda.
Last
but not least, aku mau bilang bahwa masing-masing
kita adalah makhluk yang unik, itu artinya kita spesial, berbeda satu sama
lain. Kita memiliki jalan hidup sendiri, kapasitas diri yang berbeda, cara
bertindak yang unik, dan takdir yang berbeda. Tujuan yang kita miliki mungkin
sama, tapi tantangan dan jalur yang kita lalui bisa saja berbeda, namun kita
akan mencapai titik yang sama. Selalu libatkan Allah dalam perjuangan kita dan
jangan iri pada pencapaian orang lain, karena kita gak pernah tau seberapa
besar luka dan kelamnya masa lalu mereka yang sudah ditutupi dari kita.
Comments
Post a Comment