Resensi Circle of Love
Oleh: Juny Zalisa





·       Judul               : Circle of Love
·       Penulis            : Monica Petra
·       Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
·       Cetakan          : pertama, Desember 2011
·       Tebal               : 200 halaman; 20 cm
·       ISBN                : 978-979-22-7777-7

Sebuah novel yang ditulis oleh Monica Petra, yang bukan merupakan novel pertamanya lagi. Novel ini bertema tentang kisah cinta seorang Patricia Sarah, yang merupakan tokoh utama dalam novel ini, yang selalu merasa sial dengan kehidupan cintanya. Monica membuat penokohan dan alur ceritanya seolah saling bertolak belakang. Patricia Sarah yang ia gambarkan sebagai gadis sempurna dengan kecantikan, kemolekan, kepintaran, dan kemapanan yang diatas rata-rata harus berhadapan dengan takdirnya sendiri yang seolah tidak menginginkannya. Patty selalu memiliki banyak kenalan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, berhubung dirinya juga seorang penulis novel yang cukup populer. Banyak laki-laki yang dekat dengannya, dan sebanyak itu pulalah yang mampu membuat Patty jatuh hati kepada satu per satu dari mereka. Akan tetapi, justru Patty merasa seolah kehidupan cintanya telah dikutuk sejak lahir karena bahkan hingga usianya yang sudah melewati 20 tahun belum juga pernah berpacaran.

Monica selalu bermain dengan kondisi psikologis Patty yang sering ia buat frustasi karena memikirkan kekurangan dirinya sendiri yang nyaris tak ia temukan. Terutama ketika melihat teman-temannya yang bahkan tidak sesempurna dirinya pun telah memiliki pacar.

Kisah ini benar-benar merupakan love story yang sungguh tragis, dimana Patricia selalu patah hati dengan setiap pria yang ia cintai. Dimulai dengan Edo, kakak tingkat Patty di kampus yang akhirnya menikah dengan gadis pilihannya. Lalu Bryan, seseorang yang telah berhasil membuat Patty selalu merasa spesial, namun hanya menganggap Patty sebagai adik. Kemudian Andhika, seorang artis yang hanya meninggalkan kenangan manis bagi Patty selama satu hari. Begitu juga dengan Adrian, teman kampus Patty yang sempat membuatnya berdebar, namun ternyata Adrian malah mencintai sahabatnya, Deasy. Kesemua pria itu dihadirkan silih berganti oleh penulis. Seolah kehidupan Patty lebih banyak didominasi oleh pria-pria itu. Akan tetapi, penulis mampu membuat alur yang sungguh menakjubkan, tanpa membuat pembaca bingung dan tanpa harus mengulang tokoh-tokoh yang akan terlupakan. Semuanya terasa mengalir indah, membuat pembaca semakin tertarik untuk melihat apa yang ada di halaman selanjutnya.

Patty dengan watak yang sedikit labil dan mudah jatuh cinta kepada laki-laki yang menurutnya good looking, membuat ia bahkan terkesima dengan seorang pembuat tato yang tanpa sengaja ia temui di Bali ketika ada acara di Bali. Bahkan ia sempat menyimpan kenangan pertemuannya dengan pria itu di dalam hatinya, walau ia tak pernah mengenal namanya.

Setting yang digunakan penulis juga tidak sedikit, dan pergantian tempatnya terbilang sangat cepat. Setiap tokoh dimunculkan dan diperkenalkan satu persatu oleh penulis. Ketika alur cerita terus berjalan, penulis tidak menghilangkan peran tokoh-tokohnya, melainkan merubah peran dan keterkaitan antar tokoh satu sama lain. 

Cerita ini penuh dengan konflik, mulai dari antara tokoh dengan dirinya sendiri, dan antar tokohnya. Konflik yang dimunculkan bertubi-tubi, dari satu konflik bersambung dengan yang lain. Seperti ketika Patty harus menghadiri pertunangan Bryan, ia mengajak Felix, teman chattingnya dari Amerika, yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya, bahkan saudaranya. Ketika acara pertunangan itu, Patty malah bertemu dengan semua pria yang selama ini pernah melukis kenangan indah bagi dirinya. Mulai dari Andhika sang artis, sampai pembuat tato yang ia temui di Bali, yang bernama Clyde. Belum lagi Patty harus bekerja sama dengan perasaannya untuk melepaskan Bryan, ia justru dipermalukan oleh Jenny, tunangan Bryan yang merasa cemburu dengan hubungan tidak wajar Patty dan kekasihnya. Pikiran kacau Patty seketika itu, membuatnya langsung terbang dari Jakarta ke Bali, mengikuti Clyde yang bahkan tak begitu dikenalnya. Rencana untuk menenangkan diri ke Bali, justru menjadi tragedi yang semakin membuat Patty putus asa. Bahkan ketika Patty sudah hampir hidup normal lagi, ia kembali dipermainkan oleh penulis. Perasaan yang tak pernah ia inginkan justru tiba-tiba menghampirinya untuk seorang sahabat yang bernama Felix. Patty tak ingin harus kembali kehilangan sahabatnya, ia berusaha menekan perasaannya itu agar tidak membuat hubungan mereka berubah. Akan tetapi, semua hal itu justru membuat masalah Patty seperti benang kusut.

Sudut pandang orang pertama yang digunakan penulis, membuat pembaca mampu merasakan emosi-emosi yang ada dalam cerita ini, seolah hal itu nyata. Conclusion yang sungguh menarik, membuat pembaca benar-benar ikut hanyut dengan happy ending dari kisah ini.

Pada novel ini, terdapat beberapa kalimat atau kata-kata yang sedikit kurang komunikatif, sehingga jika dibaca dari berbagai sudut pandang atau logat bahasa, akan terasa berbeda. Tetapi, secara keseluruhan novel ini dapat memberi pelajaran yang berharga bagi pembaca. Bagaimana kita harus tetap bertahan diatas setiap air mata yang ada, dan tetap bersabar menunggu waktu untuk kita sendiri yang diberikan oleh Tuhan, walau orang-orang disekitar kita telah mendapatkan waktunya sendiri terlebih dahulu.

you’re pecious, you deserve the best man at the right time, If today is not your time, tomorrow will be yours.”

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Tokyo in Love

Instagram Ads: Reach More Your Specific Audience